Jumat, 15 April 2016

Pameran Ekskursi Arsitektur UI

Jauh di balik hiruk pikuk kota..
Di balik lebatnya hutan
Di pinggir kali
Di ujung timur Indonesia

Izinkan lah saya untuk menceritakan sedikit kehidupan disana
Melalui kata ini semoga saya dapat menyampaikan rasa takjub saya atas kehidupan mereka
Yang sederhana dan tradisional




Kamis minggu ini yaitu 14 April 2016 saya dan teman teman saya Hana dan Citra berkesempatan untuk mengunjungi Museum Nasional untuk melihat pameran ekskursi yang diadakan oleh Mahasiswa Arsitektur UI. Syukurlah, di hari terakhir saya diizinkan. Pameran ekskursi merupakan output dari ekspedisi dan penelitian mengenai arsitektur vernacular yang diadakan oleh mahasiswa Arsitektur UI. Arsitektur vernacular adalah arsitektur yang terbentuk dari proses yang berangsur lama dan berulang-ulang sesuai dengan perilaku, kebiasaan, dan kebudayaan di tempat asalnya. Vernakular, berasal dari vernacullus yang berarti lokal pribumi (Wikipedia, 2016) . Pembentukan arsitektur berangsur dengan sangat lama sehingga sikap bentuknya akan mengakar.Jadi intinya arsitektur ini muncul dengan sendirinya diantara masyarakat dan sifatnya tradisional.
Tahun 2015 kemarin tujuan mereka adalah ke Indonesia Timur yaitu ke Papua suku pedalaman Korowai di suatu daerah bernama Yafufla. Menariknya untuk melakukan penelitian ini mereka harus melakukan perjalanan yang panjang. Mereka harus naik pesawat selama dua jam, kemudian naik pesawat kecil selama lima puluh menit, dilanjutkan dengan naik perahu kecil selama 7 jam, dan terakhir mereka harus trakking selama 2 hari. Can u imagine? Makanya tidak terlalu banyak juga mahasiswa arsitektur yang ikut, ya karna dibutuhkan fisik dan mental yang kuat kemudian izin dari orangtua. Paham orangtuakan suka panik. Kalo dihitung dari foto mungkin ada sekitar belasn. Selama beberapa waktu mereka tinggal bersama masyrakat sana dan meneliti mengenai rumah adat.  Tidak saja menampilkan ekskursi untuk tahun ini, mereka juga memamerkan dari empat ekskursi sebelumnya . Saya lupa mana saja, yang jelas ada Lombok dan Sumba. 
Suku korowai merupakan suku pendatang misionaris. Mereka hidup di pinggiran kali hutan. Laki-laki dan perempuan tiggal terpisah. Mereka tinggal di rumah pohon. Rumahnya itu tinggi kalo ke atas harus naik tangga yang terbuat dari pohon. Semacam rumah panggung tapi lebih tinggi. Dibawahnya, dibiarkan kosong. Hal ini dilakukan agar mereka terhindar dari hewan buas.  Rumah ini terbuat dari kayu-kayu pohon dan daun-dun. Rumah ini tentu saja tanpa listrik didalamnya. Gak ada bata, amplas, apalagi di cat. Oya, untuk menghitung mereka punya caranya sendiri yaitu mengurutkan dari jari sampe tangan, kepala, terus balik lagi ke tangan.  Mereka hanya menghitung sampai 25.Kemungkinan untuk membuat rumah, mereka mungkin masih menghitung tapi hanya sampai 25.  Perabotnya  masih sangat sederhana. Mereka biasanya tidur diatas kayu ,bukan kasur dan tidak ada bantal.  Di satu rumah ada beberapa tungku api dua atau tiga, untuk menghangatkan tubuh. Untuk menjaga hubungan (biar bonding), sebelum tidur mereka juga senang mengobrol. Laki-laki dianggap sudah siap menikah apabila sudah memiliki kumis dan bisa membuat rumah sendiri. 

Sebenarnya aku wondering apakah mereka sudah mengenal uang atau belum. Pekerjaan mereka adalah menangkap ikan dan berburu. Untuk berburu mereka menggunakan panah dan semacam pisau. untuk menangkap ikan mereka memakai alat jarring dan serokan. Cara mereka menangkap ikan ada beberapa tapi ada satu yang aku inget, pertama mereka ke sungai terus mereka kayak bikin pembatas gt jadi maksudnya area itu aja buat nagkap ikan bisa pake pohon, kemudian mereka menguras sungai pake serokan itu,kemudian mereka ambil ke daerah diluar batas itu nah hal itu mereka lakukan terus menerus sampai menemukan ikan. Aku takjub sih karna hidup mereka masih all the way sederhana sekali. Sehari-hari masyarakt suku Korowai mengenakan baju adat seperti yang pernah aku lihat di TV. Ceweknya pake rok rumbai-rumbai dan beberapa ada yang memakai akseoris seperti anting dan kalung besar. Kemudian, prianya mengenakan koteka yang menutupi kemaluannya.
Ketika akan melahirkan wanita suku korowai akan diasingkan ke dalam suatu rumah ditemani oleh satu orang wanita. Suaminya, tidak menemani dan hanya mengantarkan makanan. Pada intiya proses kelahiran dilakukan sendiri. Mereka melakukan beberapa hal sebelum proses lahiran, seperti melakukan gerakan senam. Ketika meninggal maka mayat diiringi dengan nyanyian dan doa kemudian ditinggalkan diatas tanah. Begitulah pengalaman ku mengunjungi pameran:)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar