Jauh
di balik hiruk pikuk kota..
Di
balik lebatnya hutan
Di
pinggir kali
Di
ujung timur Indonesia
Izinkan
lah saya untuk menceritakan sedikit kehidupan disana
Melalui
kata ini semoga saya dapat menyampaikan rasa takjub saya atas kehidupan mereka
Yang sederhana
dan tradisional
Kamis minggu ini yaitu 14 April 2016 saya
dan teman teman saya Hana dan Citra berkesempatan untuk mengunjungi Museum
Nasional untuk melihat pameran ekskursi yang diadakan oleh Mahasiswa Arsitektur
UI. Syukurlah, di hari terakhir saya diizinkan. Pameran ekskursi merupakan
output dari ekspedisi dan penelitian mengenai arsitektur vernacular yang
diadakan oleh mahasiswa Arsitektur UI. Arsitektur vernacular adalah arsitektur yang terbentuk dari proses yang berangsur lama dan berulang-ulang sesuai dengan
perilaku, kebiasaan, dan kebudayaan di tempat asalnya. Vernakular, berasal dari
vernacullus yang berarti lokal pribumi (Wikipedia, 2016) . Pembentukan arsitektur berangsur
dengan sangat lama sehingga sikap bentuknya akan mengakar.Jadi intinya
arsitektur ini muncul dengan sendirinya diantara masyarakat dan sifatnya tradisional.
Tahun 2015 kemarin tujuan mereka
adalah ke Indonesia Timur yaitu ke Papua suku pedalaman Korowai di suatu daerah
bernama Yafufla. Menariknya untuk melakukan penelitian ini mereka harus
melakukan perjalanan yang panjang. Mereka harus naik pesawat selama dua jam,
kemudian naik pesawat kecil selama lima puluh menit, dilanjutkan dengan naik
perahu kecil selama 7 jam, dan terakhir mereka harus trakking selama 2 hari. Can
u imagine? Makanya tidak terlalu banyak juga mahasiswa arsitektur yang ikut, ya
karna dibutuhkan fisik dan mental yang kuat kemudian izin dari orangtua. Paham
orangtuakan suka panik. Kalo dihitung dari foto mungkin ada sekitar belasn. Selama
beberapa waktu mereka tinggal bersama masyrakat sana dan meneliti mengenai
rumah adat. Tidak saja menampilkan
ekskursi untuk tahun ini, mereka juga memamerkan dari empat ekskursi sebelumnya
. Saya lupa mana saja, yang jelas ada Lombok dan Sumba.
Suku korowai merupakan suku pendatang
misionaris. Mereka hidup di pinggiran kali hutan. Laki-laki dan perempuan
tiggal terpisah. Mereka tinggal di rumah pohon. Rumahnya itu tinggi kalo ke
atas harus naik tangga yang terbuat dari pohon. Semacam rumah panggung tapi
lebih tinggi. Dibawahnya, dibiarkan kosong. Hal ini dilakukan agar mereka
terhindar dari hewan buas. Rumah ini
terbuat dari kayu-kayu pohon dan daun-dun. Rumah ini tentu saja tanpa listrik
didalamnya. Gak ada bata, amplas, apalagi di cat. Oya, untuk menghitung mereka
punya caranya sendiri yaitu mengurutkan dari jari sampe tangan, kepala, terus
balik lagi ke tangan. Mereka hanya
menghitung sampai 25.Kemungkinan untuk membuat rumah, mereka mungkin masih
menghitung tapi hanya sampai 25. Perabotnya
masih sangat sederhana. Mereka biasanya
tidur diatas kayu ,bukan kasur dan tidak ada bantal. Di satu rumah ada beberapa tungku api dua atau
tiga, untuk menghangatkan tubuh. Untuk menjaga hubungan (biar bonding), sebelum tidur mereka juga senang
mengobrol. Laki-laki dianggap sudah siap menikah apabila sudah memiliki kumis
dan bisa membuat rumah sendiri.
Sebenarnya aku wondering apakah mereka sudah mengenal uang atau belum. Pekerjaan
mereka adalah menangkap ikan dan berburu. Untuk berburu mereka menggunakan
panah dan semacam pisau. untuk menangkap ikan mereka memakai alat jarring dan
serokan. Cara mereka menangkap ikan ada beberapa tapi ada satu yang aku inget,
pertama mereka ke sungai terus mereka kayak bikin pembatas gt jadi maksudnya
area itu aja buat nagkap ikan bisa pake pohon, kemudian mereka menguras sungai
pake serokan itu,kemudian mereka ambil ke daerah diluar batas itu nah hal itu
mereka lakukan terus menerus sampai menemukan ikan. Aku takjub sih karna hidup
mereka masih all the way sederhana sekali. Sehari-hari masyarakt suku Korowai
mengenakan baju adat seperti yang pernah aku lihat di TV. Ceweknya pake rok
rumbai-rumbai dan beberapa ada yang memakai akseoris seperti anting dan kalung
besar. Kemudian, prianya mengenakan koteka yang menutupi kemaluannya.
Ketika akan melahirkan wanita suku
korowai akan diasingkan ke dalam suatu rumah ditemani oleh satu orang wanita. Suaminya,
tidak menemani dan hanya mengantarkan makanan. Pada intiya proses kelahiran
dilakukan sendiri. Mereka melakukan beberapa hal sebelum proses lahiran,
seperti melakukan gerakan senam. Ketika meninggal maka mayat diiringi dengan
nyanyian dan doa kemudian ditinggalkan diatas tanah. Begitulah pengalaman ku
mengunjungi pameran:)